Wednesday, August 13, 2008

Fenomena Sang Keset

Tahukah anda kalau ternyata keset yang selalu kita injak-injak itu memiliki sisi yang mungkin nilainya lebih baik daripada manusia yang menginjaknya setiap hari itu sendiri

Secara apresiatif, seni arsitektur bangunan sekarang ini kebanyakan menggunakan pelengkap keindahannya dengan menggunakan kêsêt yang biasanya diletakkan di depan pintu masuk utama bangunan atau rumah. Dilihat dari nilai fungsional kêsêt, terpasang sebagai pelengkap adalah untuk menjaga kebersihan dan keindahan seni arsitek yang sudah tertata. Bagaimana tidak, karena jelas sekali tanpa adanya kêsêt, jutaan debu, lumpur dan kotoran-kotoran lainnya dengan sangat mudahnya bisa masuk nunut (numpang red.) ke dalam bangunan melalui kaki, sandal, sepatu, bakiak atau apapun namanya, yang akhirnya mampu merusak nilai keindahan apresiasi yang ada. Malahan lebih hebat lagi, tanpa kêsêt dalam sebuah rumah atau bangunan akan terjadi berbagai macam kejadian. Baik dari kejadian yang sifatnya kebaikan sampai kejadian yang sifatnya keburukan.
Bolehlah kalau kita kaji kejadian-kejadian tersebut antara lain yang sifatnya kebaikan adalah termasuk dengan adanya kêsêt, kaum pengangguran bisa terangkat ekonominya karena menjadi pembantu rumah tangga. Dengan faktor penyebab sang majikan yang tak mampu menjaga kebersihan rumahnya sendiri dikarenakan kesibukan yang ada. Jadi tak pelak kalau Indonesia ini termasuk salah satu negara pengirim tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri terbanyak setiap tahunnya. Sedangkan yang bersifat keburukan adalah si empunya rumah atau bangunan bisa terlupa kesabaran dengan marah-marah disebabkan kotoran yang ada. Sehingga seringkali kita dengar terjadi kekerasan dalam sebuah rumah tangga terhadap seorang pembantu. Yang kalau kita selidiki faktor penyebabnya karena tidak ada kêsêt dan si pembantu yang sudah kelelahan dengan banyaknya pekerjaan yang ia pikul terlambat membersihkan kotoran tersebut. Bahkan karena tidak adanya kêsêt, lambat laun kaidah ajaran firman Tuhan dan hadits Rosul tentang cinta kebersihan akan pudar.
Tapi dari sekian banyak problematika kêsêt, adakah seseorang manusia yang mendengar kêsêt berteriak meminta hak atas fungsinya atau mungkin juga membentak karena selalu diinjak-injak dan tak pernah dimuliakan? Andaikata sang kêsêt bisa berbicara, mungkin akan banyak sekali cerita yang ia bukukan kemudian diedarkan ke masyarakat luas. Tetapi nyatanya tidak. Sang terhina kêsêt, tak pernah mau berbicara dan bercerita tentang perbedaan kaki, sandal, sepatu, bakiak dan benda lain yang menginjaknya. Apakah berwarna hitam atau putih, mahal atau murahan, bagus atau tidak, berat atau ringan dan lain sebagainya. Bahkan kêsêt dengan rapi sekali menyimpan rahasia tentang aib orang yang menginjaknya. Kêsêt tak pernah ngerasani (membicarakan aib) apakah kaki penginjak kêsêt itu bau tidak enak, kena kutu air, pecah-pecah, boloten (kotor red.), dan aib yang lain.
Hebatnya lagi, si penyabar kêsêt seolah memahami sepenuhnya apa dan bagaimanakah qona’ah (menerima apa adanya) dalam hidup. Karena meskipun selalu diinjak untuk membersihkan dan menelan kotoran, kêsêt tak pernah menolak. Sering juga kêsêt itu sendiri tidak pernah dibersihkan. Andaikata dibersihkan sekalipun, kêsêt dijemur di ramainya jalanan. Sehingga tidak lagi hanya diinjak melainkan ditindih roda kendaraan yang lalu lalang. Kêsêt hanya bungkam menerima ikhlas segala apa yang terjadi pada dirinya dan tak melaporkan penganiayaan sekejam itu pada pihak yang berwajib, atau mungkin meminta balasan kepada Tuhan, serta tak pernah meminta royalti bayaran kepada setiap penggunaya. Sang kêsêt hanya menjadi benda hina yang bertanggung jawab penuh serta memegang teguh konsekuensi terhadap orang yang memerdekakannya dengan rela membeli kêsêt melalui sejumlah uang dari si penjual kêsêt.
Melihat problematika kêsêt yang sedemikian peliknya itu, alangkah ironis sekali kalau kita umat manusia yang bertitelkan khalifah di muka bumi Tuhan ini, malah dikalahkan oleh kêsêt dalam hal kesabaran, qona’ah, tanggung jawab, keikhlasan, konsekuensi serta menyembunyikan aib manusia yang lain. Na’udzubillah! Semoga kita tidaklah termasuk yang demikian. Maka dari itu marilah kita bertafakkur kembali, benarkah lebih mulia sifat kêsêt daripada kita? Atau mungkin memang kita ini saja yang lebih suka berubah manjadi manusia kêsêt………!?

No comments:

Post a Comment